Bekasi – (10/09/2018) Indonesia kembali berduka. Sejarawan senior, Peter Kasenda (61) meninggal dunia pada Jumat (07/09) di rumah mendiang, Perumahan Jl. Bukit Dago Raya Blok T, Perumahan Sarigaperi, Jatibening Baru, Pondok Gede. RT06/RW06, Bekasi.
Mendiang menyelesaikan studi pada Jurusan Sastra Perancis dan Sejarah di Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia. Hingga akhir hayatnya, masih aktif mengajar sebagai dosen di Kampus Merah Putih Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Jakarta dan Universitas Bung Karno (UBK).
Sebagai penulis, Pak Peter demikian panggilan akrabnya, sangat produktif menghasilkan karya-karyanya. Tulisannya pertama kali dimuat pada harian Prioritas pada Oktober 1986. Peter menjadi kontributor buku-buku seperti Tokoh Indonesia dalam Era Pembangunan (1987). Sebagai penulis biografi dan pemikiran Bung Karno yang cukup menonjol dari tangannya lahir 90 Tahun Bung Karno (1991); Kembali ke Cita-Cita Proklamasi 1945 (2010); dan, Heldy Cinta Terakhir Bung Karno (2011) dan Hari-Hari Terakhir Sukarno.
Sebagai pencatat tokoh dan peristiwa yang liris, karya penulis kelahiran Bandung, 13 Januari 1957 juga diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, yakni bukunya bertajuk Zulkifli Lubis Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI-AD (2012); Sebagai managing editor turut menyunting Non Aligned Movement Toward The Next Millenium Volume II dan III (1985) terbitan Media Indonesia dan Grup Bimantara; Bung Karno tentang Marhaen dan Proletar (1999); Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933 (2010).
Keterlibatannya di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) juga mewarnai karya-karyanya. Beberapa diantaranya menulis kisah ketua umum GMNI generasi perdana, John Lumingkewas: Merah Darahku, Putih Tulangku, Pancasila Jiwaku (2010); Soeharto Penerus Ajaran Politik Soekarno (2012); Mereka Bilang Kita Orang Indonesia (2010); Kembali ke Cita-Cita Proklamasi 1945 (2011).
Setahun terakhir, ditugaskan pada Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) hingga perubahan status ke Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Pak Peter dan tim mengemban tugas berat yang tengah dijalaninya, yakni merumuskan dokumen naskah otentik Hari Lahir Pancasila.
Patut disyukuri, selain beberapa kontribusi penting bersama tim di BPIP, dalam jagat maya pemikiran mendiang telah diabadikan. Masyarakat luas masih dapat mengakses pada blog pribadi mendiang di: peterkasenda@wordpress.com
Sebagai umat Katolik, Pak Peter tentu saja menjadi bagian dari masyarakat dimana Ia tinggal. Paroki Santo Leo Agung, Wilayah 7, lingkungan Santa Angela Merici. Rasa kehilangan sahabat umat tercermin dari perhatian besar umat lingkungan dalam mengurus semua ikhwal prosesi penyemayaman, prosesi doa hingga pemakaman.
Sementara para rekan sejawat di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), serta kampus UNTAG dan UBK tempat mendiang masih tercatat sebagai dosen, juga sangat berduka. Tak ketinggalan pula para alumni UI dan SMA PSKD1 sebagai almamaternya.
Rekan SMA-nya tidak percaya kepergian Peter. Sebab mereka baru saja melangsungkan reuni. Marjuki teman SMA PSKD1(angkatan 73 - alumni 76), memandang Peter sebagai teman yang sangat baik. “Kehangatan pribadinya membuat Peter suka mengobrol. Sama sekali tidak pernah nakal apalagi menyakiti hati orang lain. Sangat santun. Pembawaannya sebagai pemikir dan penulis juga membuatnya irit komentar”, cetus Marjuki.
Kesan lain datang dari Anton (UI, Antropologi 80) yang mengenal Peter sebagai sosok humoris. Rumah yang berdekatan membuat mereka tidak cukup bertegur sapa, namun juga saling membanyol layaknya sahabat. “Awas ada gorila lewat, pesan saya via WA,” ejek Anton setiap Peter lewat depan rumahnya sepulang kerja.
Mendiang yang berbadan tambun itu biasanya menjawab dengan gurauan, “kurang ajar, awas guwe bales!” Selain suka bertandang jam berapapun ke rumahnya, Peter kadang membawa oleh-oleh hasil kebunnya. Tak segan Peter berepot-repot, membopong buah nangka ke rumahnya demi memberikan perhatian. Peter dikenang pendidik di Sekolah Tarakanita ini, sebagai sosok yang murah hati dan berhati besar.
Kenangan lain datang dari kantor mendiang di BPIP dimana satu tahun belakangan beliau tengah menuntaskan dokumen naskah otentik Pancasila. Tugas berat dari Bapak Presiden Joko Widodo kepada badan baru yang baru berdiri sejak 2017 lalu.
Rekan sejawat Martin Sinaga, memandang Peter sebagai sejarawan cukup senior. Menurutnya, mendiang adalah pencatat terbaik Marhaenisme dan hidup Soekarno.
“Seorang sahabat di meja-meja hening sejak di UKP-PIP hingga BPIP. Darinya saya mengerti nasionalisme, juga jenis revolusi Indonesia, bahkan cara merawat ingatan akan 1965 yang masih berdebu dan menanti disiangi itu,” catat Martin.
Guru besar dan pendeta asal Simalungun ini berefleksi, akankah sejarah juga mengadili sang sejarawan seperti Peter Kasenda, dimana vonis terlebih dulu dijatuhkan: Sosok Peter dalam kesendirian, namun dalam kedamaian. Menurutnya, Pak Peter dengan murah hati, selalu memberi ruang bagi siapa saja yang menginterupsi kerja penulisan historisnya. Kesunyian adalah ruang kreatif yang terbaik, untuk menuntaskan panggilan sejarahnya.
Sebuah tugas intelektual berat yang tak lelah dilakoninya, sembari dengan murah hati Ia membagikan rampai-rampai karya pustakanya kepada para sahabat dan rekan sejawat. Meski memilih tidak berkeluarga, Pak Peter tetap ingin, semua orang yang dikasihinya, menjadi pribadi yang tiada lelah untuk gelisah, terus belajar.
Selamat jalan sahabat dan rekan sejawat Pak Peter Kasenda. Tuhan Allah menantimu dengan penuh suka cita di surga. Sebagai pemikir, penulis, dosen sekaligus mantan aktivis, sikap mesu diri mengharuskannya bertekun dalam kesunyian olah pemikiran, yang menghantarkan Pak Peter kepada Sang Pencipta.