Tugu Perjuangan Bagindo Azis Chan di Simpang Kandis atau “Simpang Tinju” adalah tempat Aziz Chan terbunuh puluhan tahun yang lalu. Pada saat itu beliau adalah Walikota Padang ketiga. Aziz Chan adalah sosok Walikota pejuang, berkepribadian keras, berani,dan tidak suka plin-plan dan beliau adalah sosok yang disegani kawan ataupun lawan.
Aziz Chan adalah seorang aktivis politik yang melalui karirnya sejak masa sebelum perang. Sejak di AMS ( Algemene Middelbsare School) ia sudah duduk sebagai pengurus JIB (Jong Islamietan Bond). Disamping itu pun aktif dalam kelompok “penyedar”, organisasi kader pemuda PSIIyang didirikan oleh Agus Salim. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di fakultas Hukum (Rech Hogeschool, RHS)Batavia pada tahun 1932, tapi tahun 1934 ia memutuskan untuk berhenti, dan kembali ke Padang.
Sekembalinya ke Padang, Aziz Chan memilih menjadi guru di Islamic College dan normal Islam. Pada awal kemerdekaan ia aktif dalam organisasi BPPI di kota Padang. Akhirnya terpilih sebagai delegasi Sumater Barat ke Kongres Pemuda di Yogyakarta pada bulan November 1945. tidak lama setelah itu ia diangkat sebagai Wakil Walikota Padang, yang ketika itu dipegang oleh Mr. Abu Bakar Djaar.
Puncak kariernya setelah ia dipilih secara aklamasi menjadi Wlikota Padang ketiga menggantikan Mr. Abu Bakar Djaar yang mendapat tugas baru sebagai residen Sumatera Timur.
Aziz Chan diangkat pada bulan puasa 15 Agustus 1946 dan meninggal dunia sebagai syuhada dalam bulan puasa pula, 19 Juli 1947, yakni dua hari menjelang Belanda melancarkan perang colonial pertama.
Pada Minggu sekitar jam 17.00 sore, 19 juli 1947. Dekat menjelang berbuka puasa. Aziz Chan dan isterinya serta M. Marzuki, staf Walikota dengan mobil SB-6 distop oleh Belanda di tengah jalan di dekat Jembatan Ulak Karang.
Aziz Chan diberitahukan bahwa Letkol. Van Erp, perwira Belanda yang bertanggungjawab ingin mengadakan pembicaraan dengannya. Walikota diberitahukan bahwa telah terjadi insiden tembak-menembak antar “ekstrim” dan serdadu Belanda di daerah demarkasi di Nanggalo, sekitar 3 km dari tempat mereka berdiri.
Komandan militer Belanda itu meminta Walikota datang ketempat kejadian guna menyelesaikan insiden itu. Istri beliau ingin ikut tapi tidak beliau izinkan. Sesampainya di Nanggalo perwira Belnda meminta beliau untuk turun dari Jeep guna memeriksa tempat kejadian (sekarang Simpang Kandis Nanggalo atau “Simpang Tinju”). Beberapa kali pukulan mengenai kepala Aziz Chan, berikut sebuah yang tepat menembus pangkal telinganya. Walikota Padang itu tewas seketika. Jenazahnya kemudian dibawa Belanda ke Rumah Sakit Umum Padang.
Tidak ada seorang pun yang mengetahui kejadian itu kecuali Belanda dan begitu juga dengan isteri beliau dan M. Marzuki yang menunggu di mobil. Berita kemaiannya baru dketahui beberapa jam setelah itu, tepatnya setelah buka puasa.
Berita kematian Aziz Chan diterima simpang siur dan dalam versi yang berbeda-beda. Laporan Belanda menyebutkan bahwa walikota Padang itu tewas terbunuh akibat terkena peluru nyasar dari ekstrimis di garis demarkasi. Namun pihak Republik berkeyakinan, bahwa insiden itu hanyalah rekayasa Belanda belaka.
Berita kematian Aziz Chan justru berasal dari sebuah rumah yang terletak dibelakang Pasar Baru, dekat gedung “Pusat Kebudayaan Sumatera”, Padang Panjang. Pemiliknya adalah Zahara Usman, istri tua Bagindo Aziz Chan.” Disana”, Hamka mencatat :”kelihatan orang berkerumunan ramai dan diantaranya terdengar pula isak tangis orang”. Beberapa orang took kemudian langsung mendatangi rumah Residen Mr. St. Moh. Rasjid di Guguk malintang. Ditempat itu suasana berkabung segera terlihat, hampir semua orang bertanya bagaimana dan siapa yang membunuh hingga tewasnya Walikota Aziz Chan.
Kontak telepon yang dilakukan Residen Rajid dengan Padanglangsung terputus di tengah jalan. Akhirnya diputuskan setelah makan sahur keluarga akan amenjeput jenazah ke Padang. Sesampai di Padang mereka tidak mendapat izin dari Belan da untuk memasuki kota Padang. Akhirnya diizinkan untuk menjemput jenazah tapi dengan syarat tidak diizinkan membawa senjata dan harus melapor terlebih dahulu ke markas tentara Belanda di Padang. Rombongan masuk kota dibawah penjagaan ketat mobil patroli belanda, dengan senjata yang sewaktu-waktu siap ditembakkan keara mobil rombongan.
Sesampai d Markas Tentara Belanda di belantung (jalan sudirman) iringan kendraan dihentikan. Lebih kurang satu setengah jam mereka harus menunggu disana. Akhirnya mereka sampai sekitar jam delapan pagi. Zaura Usman menangis ketika menyambut kakaknya, dr. Rahim Usan yang baru datang dengan rombongan.
Disepakati jenazah kan dibawa ke Bukittinggi, sekalipun penduduk di Padang memohon agar dikuburan di Padang saja. Mayat dibawa denga kereta api, ternyata urusan di kereta api juga dipersulit oleh Belanda. Ketika sampai di Bukittinggi sudah alam tapi diputuskan untuk menguburkan jenazah malam itu juga. Sekitar pukul 02.00 dinihari jenazah Aziz Chan bau dimakamkan di Taman makan Pahlawan “Bahagia” Bukittinggi. Hasil autopsy oleh dokter mengatakan bahwa Aziz Chan dibunuh secara keji oleh Belanda.
Pembunuhan berencana terhadap Aziz Chan, merupakan isyarat pertama dari Belanda untuk memulai perang dengan pihak Republik di daerah ini. Sekalipun serangan serentak Belanda di seluruh Indonesia baru dimulai dua hari kemudian, 21 Juli 1947, tetapi di Kota Padang, Belanda perlu melakukan lebih awal untuk melumpuhkan kekuatan Republik , dengan menangkap sejumlah pemimpin terkemuka di kota itu, diantarnya Wakil Walikota Saad Rasad, kepala polisi Padang Jhonny Anwar, St.Harun Al Rasyid, C.B. Tampubolon semuanya ditangkapi Belanda, sedangkan Hasan Fuad Surarti, A. Latief dijebloskan ke penjara Muaro.