PADANG – Penolakan keras Wali Kota Padang Mahyeldi terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) beberapa waktu lalu terus berlanjut.
Hari ini, Selasa (12/02/2019), seluruh elemen warga Kota Padang mendeklarasikan penolakan keras terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pada acara Seminar Bencana Sosial (Ancaman & Tantangan) di Ruang Bagindo Aziz Chan Balai Kota Padang Aia Pacah. Seminar Bencana Sosial menghadirkan keynote speaker Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si.
Dikesempatan tersebut, Prof Euis menjelaskan, penolakan terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual atau mengubah menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual memiliki beberapa alasan yang sangat krusial, dimana RUU P-KS tidak komprehensif karena tidak memuat sekaligus mengatur norma perilaku seksual. Masyarakat memandang penting pengaturan perilaku seksual bukan hanya pada penghapusan kekerasannya, namun juga meliputi normanya, yaitu larangan kejahatan seksual (perilaku seks menyimpang seperti zina, pelacuran, homo dan biseksual).
“Dalam RUU P-KS, yang diatur adalah larangan pemaksaanya (pelacuran, aborsi), mengabaikan pelacuran sebagai penyimpangan perilaku seks-nya. Demikian juga tidak memasukkan perilaku seks menyimpang lainnya”, ungkap Prof Euis di depan peserta Seminar Bencana Sosial yang diikuti seluruh SKPD Pemko Padang, Akademisi, Bundo Kanduang, PKK, Dharma Wanita, LSM, OKP, mahasiswa dan pelajar Kota Padang.
Lebih lanjut dijelaskan, naskah akademik RUU P-KS sama sekali tidak mengakomodir kekerasan seksual terhadap laki-laki yang semakin marak dan menakutkan, yang sebagian besar terkait dengan kejahatan seks menyimpang L987. Oleh karenanya, tidak bisa dipisahkan antara pengaturan teknis perilaku seksual (kekerasannya) dengan normanya (larangan perilaku seks menyimpang).
“Sehingga, dipandang penting mengubah RUU P-KS dari Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi Penghapusan Kejahatan Seksual. Dan RUU ini tidak memenuhi aspirasi masyarakat Indonesia, diduga karena pihak perumus Naskah Akademik dan draft RUU merupakan pihak yang tidak setuju adanya larangan zina dan L987”, ujar Ketua Penggiat Keluarga Indonesia tersebut.
Lebih lanjut dikatakan, pada naskah akademik dan RUU P-KS juga tidak memberi perhatian dan mengakomodir institusi keluarga di Indonesia yang hidup dengan nilai-nilai konvensional, menjadikan agama (khususnya agama Islam yang dianut mayoritas keluarga Indonesia) sebagai landasan kehidupan. Agama yang dianut keluarga dan masyarakat Indonesia sangat mencela perilaku seks menyimpang.
“Komponen pencegahan dalam RUU P-KS sangat sedikit dan tidak mengelaborasi faktor kekerasan dan penyimpangan seksual yang harus dicegah dan diantisipasi. Lagi-lagi, tidak menjadikan keluarga sebagai bagian penting”, tuturnya lagi.
Prof Euis menambahkan, salah satu contoh definisi Kekerasan Seksual dalam RUU P-KS menjelaskan, kekerasan seksual merupakan yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan.
Definisi tersebut, menurut Prof Euis tidak jelas dan bisa berekses pada tafsir sepihak dan digunakan untuk mengkriminalisasi kritik moral masyarakat atas perilaku seks menyimpang seperti L987, gaya berpakaian muda-mudi, bahkan seks di luar nikah yang sudah demikian parah datanya. Jangan hal-hal tersebut sampai dikriminalisasi atas nama pelecehan seksual. Padahal sejatinya kritik tersebut justru menjaga moralitas generasi bangsa sesuai nilai-nilai Pancasila dan agama. Bahkan semestinya RUU mengatur dengan tegas larangan perilaku menyimpang seperti L987.
“Respon tanggap Wali Kota Padang sebagai Wali Kota pertama memberikan pernyataan menolak RUU P-KS harus kita apresiasi, begitu juga dengan seminar yang diadakan Kota Padang dengan menggabungkan antara mitigasi bencana alam dan mitigasi bencana sosial”, ujar Prof Euis.
Sementara itu, Wali Kota Padang Mahyeldi saat membuka Seminar Bencana Sosial, mengatakan, digelarnya Seminar Bencana Sosial untuk melindungi Kota Padang dari bencana alam dan bencana sosial. Mengingat persoalan sosial di Kota Padang saat ini cukup kompleks.
“RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus dijiwai dari nilai agama, adat dan budaya kita di Indonesia, bukan mengadopsi nilai-nilai dari yang lainnya,” ujar Mahyeldi.
“Untuk itu, mari kita berikan masukan dan rekomendasi kepada DPR RI dan pihak-pihak yang terkait dalam pembahasan RUU ini, agar RUU ini tidak menimbulkan bencana alam dan bencana sosial di Indonesia. Karena kerusakan yang ada di muka bumi ini, baik di darat dan di laut karena ulah tangan manusia”, tambahnya lagi.
Seminar Bencana Sosial yang digagas BPBD Kota Padang juga menghadirkan sebagai pembicara anggota DPR RI Hermanto dan Ketua TP PKK Kota Padang Harneli. (LL/Ady/Humas)