Susi Suzanna
Pimpinan Redaksi Detak Nusantara
Pimpinan Redaksi Detak Nusantara
Detak, Politik - Membincang soal politik memang selalu lekat dengan istilah kepentingan. Politik sering disangkutpautkan dengan kepentingan. Namun kepentingan tidak mesti disangkutpautkan dengan politik. Dari itu, secara sederhana bisa diambil kesimpulan bahwa di dalam politik selalu terdapat unsur kepentingan, politik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah kepentingan. Namun demikian politik tidak sama dengan kepentingan.
Artinya, berbicara politik sudah pasti membicarakan sebuah kepentingan. Apapun soal politik akan selalu berujung dan berakhir pada term kepentingan. Pertanyaannya, kepentingan seperti apa dan untuk tujuan apa. Kepentingan untuk memperoleh dukungan, simpati publik, kegilaan jabatan, sehingga hanya mengedepankan aspek keuntungan individual atau kelompok? Ataukah kepentingan yang berbasis pada demi terwujudnya masyarakat dan bangsa yang lebih baik?
Bagi saya, kepentingan pertama jelas merupakan kepentingan yang salah kaprah, yang demikian itu bukanlah kepentingan politik, melainkan kepentingan yang dilandaskan pada nafsu ingin berkuasa dan mencari untung demi diri sendiri dan kelompoknya. Sedangkan kepentingan yang kedua barulah kepentingan politik. Lantas, apa sebenarnya kepentingan politik yang saya maksudkan?
Setiap upaya mesti dilandasi oleh sebuah kepentingan, begitu juga dengan politik. Politik, dalam teori klasik Aristoteles dipahami sebagai upaya yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Term kebaikan bersama menjadi kata kunci dalam definisi ini. Dengan kata lain, kepentingan yang diusung dalam berpolitik –mengacu pada pandangan Aristoteles, haruslah mengarah pada kepentingan yang dimaksudkan demi terwujudnya kebaikan bersama. Kepentingan ini, dalam bahasa lain disebut sebagai kepentingan nasional.
Dalam teorinya, untuk menjaga kelangsungan hidup suatu negara, maka negara harus memenuhi kepentingan nasionalnya. Sehingga Negara dapat berjalan dengan stabil dan tetap survive. Kepentingan nasional inilah yang dapat menentukan kearah mana politik itu akan dirumuskan. Disini saya perlu tegaskan, bahwa pada dasarnya politik memang lahir dari sebuah kepentingan. Dirumuskan oleh dan untuk sebuah kepentingan.
Bagi sebagian orang, selain soal kepentingan, politik tidaklah terlalu menarik untuk dibahas. Sayangnya, kepentingan itu lebih lekat dengan istilah politik kepentingan daripada kepentingan politik. Politik kepentingan tentu berbeda dengan kepentingan politik. Kata kepentingan pada istilah kepentingan politik memiliki konotasi makna yang mengarah pada pelbagai kepentingan-kepentingan. Artinya, politik dipahami hanya sebagai alat untuk meraih banyak kepentingan, yang digerakkan oleh individu, kelompok, golongan, dan sebagainya. Sedangkan kata kepentingan pada istilah kepentingan politik memiliki makna yang mengarah pada (hanya) satu kepentingan, yang digerakkan oleh suatu kelompok kepentingan, yakni kepentingan politik itu sendiri, yang disebut diawal tulisan ini sebagai kebaikan bersama.
Terkait kelompok kepentingan, partai politik adalah termasuk salah satu bagian dari kelompok kepentingan ini, yaitu kelompok kepentingan yang institusional, yang bergerak dibawah payung konstitusi atau Undang-undang. Partai politik dibentuk dan dirumuskan untuk kepentingan tidak kurang dan tidak lebih demi terwujudnya masa depan bangsa yang bermartabat. Dengan demikian, eksistensi partai politik memegang peranan sentral dalam menegakkan cita-cita politik bangsa.
Akan tetapi, di Indonesia terdapat banyak partai politik, yang mengusung banyak ideology politik, entah ideology itu sebagai landasan partai, ataupun sebatas menjadi kedok untuk meraih simpati rakyat. Ideologi itu diperjuangkan secara kompetitif, bahkan dikonteskan dalam sebuah momentum. Sehingga partai mana yang paling rajinberkontes dan muncul didepan publik, partai itulah yang akan banyak mendapat simpati rakyat.
Parahnya, menjadi fenomenanya saat ini, kebanyakan partai –untuk tidak mengatakan semua partai, terjebak pada ranah kontes ini. Dengan pelbagai caranya yang berbeda-beda, tidak peduli cara itu baik atau tidak, bersih atau tidak, yang penting harus tampil di depan publik. Sehingga yang kita lihat saat ini adalah “kontes politik” semata. Yang pada akhirnya bukan kepentingan politik yang dicari, melainkan politik kepentingan. Kepentingan untuk membesarkan partai, sehingga partai itu mendapat simpati rakyat, dipilih oleh mayoritas rakyat, dan memperoleh kekuasan. Selebihnya, lupa akan cita-cita dan kepentingan politik itu sendiri.
Yang dipikirkan hanya bagaimana partai itu tetap kuat, mendapatkan mayoritas dukungan rakyat dan dapat berkuasa di pemerintahan untuk periode-periode selanjutnya. Ketika tampil di media massa hanya dalam rangka sebatas “mencari muka,” berbicara mengenai politik untuk kepentingannya sendiri, kelompok atau golongannya. Begitu juga dengan partai politik yang lain, tampil berebut simpati. Saling menggunjing, bahkan jatuh-menjatuhkan, seakan menjadi pilihan yang harus diambil. Harapannya, partai saya yang akan dianggap paling perfect oleh rakyat.
Parahnya, menjadi fenomenanya saat ini, kebanyakan partai –untuk tidak mengatakan semua partai, terjebak pada ranah kontes ini. Dengan pelbagai caranya yang berbeda-beda, tidak peduli cara itu baik atau tidak, bersih atau tidak, yang penting harus tampil di depan publik. Sehingga yang kita lihat saat ini adalah “kontes politik” semata. Yang pada akhirnya bukan kepentingan politik yang dicari, melainkan politik kepentingan. Kepentingan untuk membesarkan partai, sehingga partai itu mendapat simpati rakyat, dipilih oleh mayoritas rakyat, dan memperoleh kekuasan. Selebihnya, lupa akan cita-cita dan kepentingan politik itu sendiri.
Yang dipikirkan hanya bagaimana partai itu tetap kuat, mendapatkan mayoritas dukungan rakyat dan dapat berkuasa di pemerintahan untuk periode-periode selanjutnya. Ketika tampil di media massa hanya dalam rangka sebatas “mencari muka,” berbicara mengenai politik untuk kepentingannya sendiri, kelompok atau golongannya. Begitu juga dengan partai politik yang lain, tampil berebut simpati. Saling menggunjing, bahkan jatuh-menjatuhkan, seakan menjadi pilihan yang harus diambil. Harapannya, partai saya yang akan dianggap paling perfect oleh rakyat.
Sayangnya tidak, rakyat justeru menjadi muak dan menjadi antipati terhadap politik. Saya khawatir, para politisi kita ditanah air menjadi penganut politik Machiavellisme, yang memegang prisip politik tanpa etika dan hukum. Bagi Machiavelli, politik hanya berbicara soal bagaimana memperebutkan dan mempertahankan kekuasaaan. Jika kekuasaan menjadi kata kuci dari politik kita, maka tidak heran jika politik sarat dengan gonjang-ganjing. Karena banyak kepentingan yang bertemu, kepentingan untuk meraih kekuasaan dan semacamnya. Ini tentu tidak sesuai dengan tujuan politik kita, yang menurut pendapat saya lebih dekat dengan pemahaman Aristoteles, yakni politik untuk “kebaikan” bersama.
Mungkin benar yang dikatakan Adam Smith, “…kita tidak hidup dari belas kasih penjual roti, melainkan oleh karena kecintaan penjual roti tersebut kepada dirinya sendiri...” Partai politik yang ada saat ini, apa yang kita rasakan saat ini di negara ini yang dibuat atas kontribusi partai politik, baik buruknya adalah efek dari bukan karena parpol itu cinta terhadap kita sebagai rakyat, melainkan karena mereka cinta terhadap kepentingannya sendiri dan partainya. Smith percaya bahwa manusia akan selalu dimotivasi oleh kepentingan individualnya.
Pada dasarnya, manusia memang sulit memisahkan diri dari kepentingannya. Ketika ia berkelompok ia juga susah menjauhkan diri dari kepentingan politik kelompoknya. Masuk ke dalam partai politik, ia tidak bisa dilepaspisahkan dari kepentingan politiknya. Sehingga berbicara politik sudah pasti berbicara kepentingan. Tinggal bagaimana kepentingan disini dikonstruksi kearah yang lebih baik yaitu kepentingan politik, bukan politik kepentingan.