Selamat Jalan AM Fatwa
PADANG - Foto hitam putih ini berbicara teramat banyak tentang kisah hidup seorang tokoh. Tokoh muda pemberani asal Bone, Andi Mappetahang Fatwa dalam keadaan sakit dibawa menggunakan kursi roda untuk menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, 1985.
Ia diadili rezim Orde Baru karena dianggap terlibat dalam Peristiwa Tanjung Priok, 12 September 1984, peristiwa yang menjadi salah satu catatan kelam hubungan umat Islam dengan kekuasaan di negeri ini.
Alkisah, pada 8 September 1984, Sersan Satu Hermanu, seorang Babinsa dari Kodim 0502 datang ke Musala As-Sa’adah di Gang IV Koja, Jakarta Utara bersama seorang rekannya. Ia masuk ruang musala tanpa melepas sepatu, dan langsung melangkah ke papan pengumuman di dinding dalam. Ia hendak melepas pamflet yang dianggap pemerintah Orde Baru sebagai ujaran kebencian. Pamflet-pamflet itu berisi ujaran kritik atas penerapan Pancasila sebagai satu-satunya azas, pelarangan pemakaian jilbab terhadap pelajar putri, dan Keluarga Berencana.
Sebuah laporan menyebutkan, karena susah membuka pamflet, akhirnya Hermanu menyiram papan pengumuman dengan air comberan, seraya menodongkan pistol kepada jamaah di musala yang berusaha melarang perbuatanya.
Dua hari kemudian, sejumlah orang menemukan Hermanu yang sedang makan di satu warung pinggir jalan. Ia dikerumuni, lalu digelandang ke rumah Ketua RW, dituntut meminta maaf atas perlakuannya yang tidak pantas saat memasuki Musala As-Sa’adah. Ia menolak meminta maaf. Saat itulah, di pelatara, sejumlah orang membakar sepeda motor Hermanu.
Polisi kemudian menangkap M Noor, anggota jamaah, sebagai dalang pembakaran motor itu. Pada malam harinya, M Noor diserahkan ke Markas Kodim 0502. Selain M Noor, pihak Kodim 0502 rupanya juga telah menangkap Syarifudin Rambe, Sofwan Sulaiman, dan juga Ketua Musala As-Sa’adah, Ahmad Sahi.
Mereka kemudian ditahan. Tokoh masyarakat Tanjung Priok, Amir Biki, kemudian berusaha melepaskan mereka dari tahanan dengan melakukan pendekatan, tapi tak mempan. Akhirnya, pada 12 September 1984 malam, massa yang dipimpin Amir Biki mendatangi Markas Kodim 0502. Dan terjadilan peristiwa Tanjung Priok itu.
Dalam buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang terbit bertahun-tahun kemudian, Presiden Soeharto mengatakan: “Peristiwa Tanjung Periok adalah hasil hasutan sejumlah pemimpin di sana. Melaksanakan keyakinan dan syari’at agama tentu saja boleh. Tetapi kenyataannya ia mengacau dan menghasut rakyat untuk memberontak, menuntut dikeluarkannya orang yang ditahan. Terhadap yang melanggar hukum, ya, tentunya harus diambil tindakan.”
Sehari setelah peristiwa itu, Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani dan Pangdam Jaya Meyjen Try Sutrisno mengumumkan, korban yang terbunuh hanya 18 orang dan yang luka-luka berjumlah 53 orang.
Pada tanggal 17 September 1984, lima hari setelah kejadian, 22 orang anggota Petisi 50 menerbitkan Lembaran Putih yang berisi bantahan terhadap keterangan Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani. Lembaran Putih Petisi 50 memuat data-data yang lebih akurat dari keterangan para saksi mata. Sekretaris Petisi 50, Andi Mappetahang Fatwa, pernah mengatakan, ada ratusan orang tewas tertembak dalam peristiwa itu, termasuk Amir Biki sendiri yang diterjang peluru aparat yang menghadang mereka di depan Mapolres Jakarta Utara. Petisi 50 menuntut supaya segera diadakan penyelidikan oleh tim independen atas kejadian ini.
Seusai peristiwa yang dianggap pelanggaran hak asasi manusia aparat itu, ratusan orang ditangkap aparat. Di antaranya adalah AM Fatwa sendiri yang menandatangani Lembaran Putih Petisi 50. Ia dan tokoh lainnya seperti Abdul Qadir Jaelani dan H.R. Dharsono dianggap sebagai “auktor intelektualis” di balik peristiwa bentrokan itu.
“Dalam tahanan militer di Cimanggis, kurang lebih 200 orang tahanan berkaitan dengan kasus Tanjung Priok. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak muda yang menjadi korban tindakan brutal saat demonstrasi terjadi. Mereka diperlakukan dengan buruk. Para tahanan remaja ini tangannya penuh balutan karena luka parah akibat tembakan. Penjaga tahanan tidak membolehkan anak-anak ini mengganti pembalut luka mereka. Pembalut diganti dua hari kemudian setelah luka-luka berubah jadi borok,” kisah Fatwa di depan pengadilan.
Persidangan itu berlangsung berbulan-bulan. Mereka dituduh melawan ABRI dengan kekerasan. Mereka dikatakan membawa senjata berupa pisau, pentungan besi, clurit dan jerigen berisi bensin, untuk melakukan pembakaran. Mereka tidak memperdulikan peringatan bahkan melakukan serangan terhadap petugas keamanan dengan pentungan dan lemparan batu. Mereka dituduh ikut dalam kegiatan politik untuk melawan pemerintah dan melakukan demonstrasi politik melawan undang-undang anti subversi.
AM Fatwa sendiri divonis 18 tahun penjara dari tuntutan seumur hidup. Ia menjalaninya efektif selama sembilan tahun, lalu tahanan luar, dan kemudian mendapat amnesti.
Saat Orde Baru tumbang, AM Fatwa masuk politik. Sebagai salah satu pendiri Partai Amanat Nasional, ia terpilih menjadi anggota DPR. Sepuluh tahun di DPR ia berpindah kamar, menjadi anggota DPD dari DKI, sampai akhir hayatnya.
Begitulah. Satu tokoh berpulang pagi ini. Andi Mappetahang Fatwa, salah satu tokoh di negeri ini yang paling berani berhadap-hadapan dengan rezim Orde Baru. Ia meninggal dunia dengan tenang di usia 78 tahun di Jakarta.
Saya tak mendalami benar sosoknya, kendati namanya sungguh-sungguh tenar semenjak saya masih kecil di desa. Selamat jalan Senator Jakarta.