_*KOPI,*_ JAKARTA - Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke menghadiri acara diskusi soal kondisi terakhir di Timur Tengah, diselenggarakan oleh _Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI)_ yang dipimpin oleh Dino Patti Djalal mantan Dubes RI di USA jaman Presiden SBY, Jumat (15/12/2017)
Dalam Diskusi yang diselenggarakan di lantai 19 Gedung Mayapada Tower 1, Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta, itu turut menghadirkan dua narasumber utama, yakni Dubes Palestina, YM Dr. Zulhair Al Shun dan Dubes Yordania, YM Mr. Walid Al Hadid.
Diskusi itu dikemas dengan tema _"Palestine Future, Independence and Peace",_ membahas issue hangat terkini yakni "Klaim sepihak USA terhadap Jerusalem sebagai ibukota negara Israel".
Sebuah keputusan Donal Trump yang telah memicu ketegangan baru, tidak hanya di Timur Tengah, tapi juga dunia.
Menurut Ketua Umum PPWI Nasional, dalam diskusi tersebut terdapat poin yang sangat penting, yaitu pernyataan Dubes Yordania, yang menyatakan bahwa persoalan Jerusalem adalah masalah umat manusia di seluruh dunia.
_'The problem of Jerusalem is an issue of human being in the world,'_ demikian Mr. Walid menegaskan. "Saya sepakat dengan pendapat ini," sebut Wilson.
Memang agak berbeda dengan Dubes Yordania, Dubes Zulhair yang tampil berbicara awal terlihat cukup tertekan dengan masalah klaim Donal Trump atas Jerusalem sebagai ibukota Israel itu, sehingga penjelasan dan pernyataannya sangat keras menentang kebijakan Trump atas Jerusalem.
Walaupun ia juga mengakui bahwa masalah di negerinya jangan dipolitisasi menjadi issue agama yang menganggap bahwa kaum Muslim Palestina yang terzolimi.
_"In Palestine, we have Moslem, Christian, and some others religion, and they are all Palestinian. So, the issue of Jerusalem and the strugle of my country is merely about human right violation by Israelis, our independent state and freedom of the Palestinian people,"_ demikian penjelasan Dubes Zulhair.
Untuk mencapai cita-cita rakyatnya mewujudkan negara Palestina yang merdeka, sang Dubes sangat mengharapkan dukungan dan bantuan masyarakat dunia internasional, baik secara politik, sosial, maupun ekonomi.
Kata Wilson, pada acara sesi tanya jawab, ia sempat mengusulkan beberapa hal antara lain, mengharapkan agar persoalan Palestine hendaknya tidak membawa embel-embel sektarian, keagamaan, kesukuan, dan lain-lain yang pada akhirnya menutup ruang perjuangan masyarakat Indonesia yang lebih masif karena terkotak-kotak atas dasar agama, suku, dan lainnya itu.
"Indonesia sulit diharapkan dapat berperan lebih banyak, terutama secara politis, dalam penyelesaian masalah Jerusalem, dan Timur Tengah secara umum, karena hingga saat ini Indonesia belum memberikan pengakuan terhadap keberadaan Israel sebagai suatu negara. Yang dapat dilakukan hanya sekedar diskusi, berteriak-teriak di jalanan, atau memberikan donasi kepada bangsa Palestina," sebut Wilson.
Suara Indonesia, seperti yang telah dinyatakan oleh Presiden Jokowi di pertemuan KTT Luar Biasa OKI beberapa waktu lalu pun, tidak berpengaruh apa-apa bagi Israel, sebab Israel juga secara diplomatik tidak mengakui Indonesia sebagai sebuah negara.
"Walaupun pernyataan saya ini sedikit dikoreksi Dino Patti Djalal yang mengatakan bahwa Indonesia sudah memberikan pengakuan terhadap Israel, tapi faktanya tidak ada Kedubes masing-masing negara Israel dan Indonesia di kedua negara," ujarnya.
Wilson juga menegaskan, terkait dengan pengakuan Indonesia terhadap Israel, Ia mengusulkan agar Pemerintah Palestina menginisiasi dan proaktif mendorong Pemerintah Indonesia memberikan pengakuan (Recognition) terhadap Israel sebagai sebuah negara, yang kemudian disusul dengan peran aktif Indonesia secara diplomatik mendorong negara-negara dunia memberikan pengakuan terhadap Palestina sebagai sebuah negara merdeka.
"Mungkin terdengar aneh, tapi bisa diwacanakan agar Jerusalem sebagai kota suci bagi beberapa agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam) dapat didorong untuk menjadi ibukota kedua negara, Israel dan Palestina," paparnya.
Toh, kedua bangsa Israel dan Palestina adalah berasal dari akar keturunan yang sama, sehingga kedua bangsa bisa saja menginduk kepada satu rumah atau kota besar peninggalan nenek moyang bersama mereka.
Tentu pembaca akan bertanya: Terus, Bang Wilson, apa tanggapan para Dubes itu? Sulit mengungkapkan dengan kata-kata... Namun, mungkin jawaban mereka bisa dipahami dari pilihan saya ketika Pak Dino Patti Djalal pada akhir kesimpulan diskusi bertanya kepada lebih 300-an hadirin.
"Kapankah negara Palestina merdeka akan terwujud? 2 tahun? 5 tahun? Atau 10 tahun lagi? Saya memilih 10 tahun lagi, karena tak ada pilihan _'never'_. Ketika semua pihak keras kepala, tetap pada tuntutan kepentingannya sendiri-sendiri, tidak mau berbagi suka-duka dengan yang lain, tidak mau sama-senang sama-susah, tidak mau win-win solution, bahkan menihilkan eksistensi pihak lainnya, maka selama itu pula Timur Tengah akan terus bergolak," jelasnya.
Ketua Umum PPWI yang terkenal begitu dekat dengan kalangan jurnalis juga menegaskan, bahwa konflik Israel-Palestina hakekatnya adalah refleksi kharakter dan sifat manusia sejak awal hingga akhir zaman, termasuk kita di negeri ini.